Selasa, 10 Juli 2007




enough is enough


Satu hari sebelum jatuh tenggat waktu tulisan ini, saya bertemu dengan teman saya yang sangat berjiwa sosial, yang sangat berbeda dengan saya yang sok sial.

Ia bercerita, beberapa hari sebelum pertemuan itu ia membagikan makanan kepada seorang pemulung. Kegiatan sosial kecil-kecilan ini dilakukannya bukan hanya pada waktu-waktu tertentu saja, tetapi sudah menjadi kehidupannya setiap hari. Jadi, soal kegiatan beri-memberi ini tampaknya sudah menjadi gaya hidupnya.
Sementara gaya hidup saya, menerima, menerima, dan kalau bisa terus menerima. Jadi, tulisan saya soal ATM beberapa bulan lalu, masih belum berhasil saya lakukan 100 persen.

Dua puluh saja juga enggak nyampe, celetuk teman saya. Jadi, memberi itu masih belum menjadi gaya hidup saya. Saya baru sampai taraf menerima, dan rasanya berat untuk masuk ke dalam taraf memberi.

Teman saya melanjutkan ceritanya. Pagi itu dalam perjalanan ke kantor, ia melakukan kegiatan sosialnya itu seperti biasa. Ia memberi makanan kepada seorang pemulung. Saat ia memberi, si pemulung menolak bungkusannya, dan dengan rendah hati ia mengatakan, Terima kasih, Pak. Bapak berikan saja ke pemulung lain atau orang lain yang lebih membutuhkan. Saya sudah kenyang.

Teman saya berkaca-kaca matanya saat menceritakan kepada saya dan berkomentar, Bayangin, mereka yang hidup sesederhana itu saja masih mampu mengingat orang lain. Mampu tidak menjadi egois dan serakah. Gue bener-bener pagi itu ditampar habis.
Teman saya tertampar, tetapi dia tak menyadari ceritanya itu juga sudah menampar saya. Jadi, mirip multilevel marketing. Si pemulung menampar teman saya, teman saya menampar saya, dan sekarang giliran saya menampar…. Hayo, mau nampar siapa? celetuk teman saya.
Lo…, balas saya secepat kilat. Dan, kalau Anda pembaca, merasa tertampar, terus terang saya tak pernah berniat demikian.

Pelajaran dari Tukul
Ketika saya mendengar cerita teman saya itu, saya memeriksa kembali bagaimana saya hidup. Dari sejak saya mendapat gaji sebagai kuli tinta, saya tak pernah merasa cukup.

Berbeda sekali ketika saya masih di sekolah dasar, bahkan saat menjadi mahasiswa kedokteran. Karena saya tak berpenghasilan, saya merasa punya uang atau tidak, tak pernah menjadi masalah. Saya merasa cukup-cukup saja. Bukan hanya karena saya tak perlu membayar kos karena saya tinggal di rumah orangtua saat itu, tetapi saya bahagia-bahagia saja karena kebutuhan saya cuma menjadi mahasiswa. Deodoran saja saya tak pernah membeli.
Ketika saya pertama kali mendapat upah sekian ratus ribu rupiah belasan tahun lalu, saya senang sekali karena saya tak pernah menerima uang sebanyak itu dari orangtua saya yang masuk dalam kategori orangtua kikir. Maka, saya mulai berpikir kalau saya bekerja dan semakin giat bekerja, pemasukan saya semakin banyak. Apalagi saat diberi tahu pada akhir tahun akan mendapat bonus dan THR. Saya lalu berpikir, memiliki uang itu enaknya setengah mati.

Dari saat itulah, sampai sekarang, saya mau bekerja keras untuk uang. Karena saya punya uang, saya bisa membeli apa yang saya mau, dan dengan bahasa sok sial saya mengatakan seperti ayah saya yang pernah menceramahi saya, kalau kita punya banyak uang, maka kita bisa membantu orang lebih banyak lagi.
Waktu itu saya manggut- manggut, menyetujui pendapatnya karena belum tahu betapa nikmatnya punya uang yang bisa diinvestasikan di saham, di beberapa perusahaan, dan di sejuta tempat berinvestasi, daripada menolong orang. Saat itu, saya melihat betapa mulianya ayah saya.

Saat saya mampu berpenghasilan lumayan, mau menolong orang susahnya setengah mati. Menyisakan sekian ratus ribu saja untuk menolong orang selalu saja ada suara yang berbunyi di dalam hati, eh… ada sale sepatu bermerek, setelah memiliki sekian belas pasang alas kaki bermerek yang tak punya nilai apa pun setelah diinjak-injak. Apakah Madame Imelda merasa cukup memiliki sepatu be- ribu pasang? Saya jadi ingin sekali bertanya, buat perempuan sepertinya, apakah arti kata cukup.

Mungkin saja ayah saya dan saya sekarang tak pernah mengerti artinya cukup. Itu mengapa saya selalu mau minta kenaikan gaji. Padahal, kalaupun gaji senantiasa dinaikkan, saya yakin saya toh senantiasa tak pernah merasa cukup. Karena tak pernah mengerti artinya cukup, saya berpikir mana mungkin saya menolong orang, lha wong saya sendiri tak pernah merasa cukup.

Saya berpikir, saya harus cukup dahulu baru dapat menolong orang. Sama seperti si pemulung, setelah perutnya kenyang, ia baru dapat berpikir untuk orang lain. Bila kasusnya ia belum makan, maka saya yakin bingkisan makanan itu akan diterima untuk dirinya dan ia tak akan menyarankan teman saya untuk memberikan kepada orang lain yang membutuhkan karena ia sendiri belum merasa cukup.

Akhir pekan lalu saya membaca tulisan tentang Tukul di majalah Weekender.
Begini bunyi wawancaranya: You have been poor and now you are rich, so what’s the meaning of money? Tukul menjawab, Good question. After I have known what it’s like to have money, it turns out that it’s nothing special. It’s actually a test to have a lot of money. We have to learn to control ourselves with it, to stop us doing things that will be to our detriment. Whether we are rich or poor, sugar still tastes sweet.


KILAS PARODI: Cukup, Belum Cukup, atau Tak Mau Cukup?

1. Sudah punya satu rumah, masih mau memiliki dua, bahkan tiga rumah lagi.
2. Sudah punya rumah 500 meter persegi, masih mau 5.000 hektar dan lima apartemen di lima benua.
3. Sudah punya satu telepon genggam, masih mau tiga telepon genggam lagi.
4. Sudah punya tiga telepon genggam, masih mau PDA, Blackberry, dan selai strawberry.
5. Sudah punya anak satu perempuan, masih mau anak laki karena merasa tak afdal.
6. Sudah punya mobil satu, masih mau tiga mobil lagi. Mau jalan jadi macet karenanya, itu bukan urusan.
7. Sudah punya tiga mobil baru, motor besar lima buah, masih mau pesawat pribadi. Jadi, kalau sudah bisa membuat macet jalan di Bumi, maka kalau bisa memacetkan jalan di atas Bumi.
8. Sudah punya satu tas bermerek, masih mau 15 tas bermerek lagi.
9. Sudah punya 12 pasang sepatu, masih mau 120 pasang sepatu lagi. Model sama bahkan tak menjadi masalah. Warnanya kan beda, kata teman saya.
10. Sudah punya satu perusahaan, masih mau punya 22 perusahaan.
11. Sudah punya satu istri, masih mau punya dua istri lagi dan dua lusin selingkuhan.
12. Sudah punya gaji satu juta rupiah, masih mau lima belas juta rupiah, dan masih mau seratus lima puluh juta rupiah.
13. Sudah punya satu kartu kredit, masih mau punya tujuh kartu kredit lainnya.
14. Sudah punya kartu kredit perak, masih mau yang emas, masih mau yang platinum.
15. Sudah punya pacar perempuan, masih mau punya pacar laki-laki. Kan yang penting kasih sayang, celetuk teman saya yang biseksual.
16. Sudah punya dua lemari penuh pakaian bermerek, masih mau punya dua lemari lagi yang penuh dengan barang bermerek lainnya.
17. Sudah mencapai target penjualan yang ditentukan, masih saja mau menaikkan lagi target penjualan yang lebih tinggi.
18. Sudah empat puluh tahun lebih sekian tahun saya hidup, saya masih saja tak mengerti artinya cukup. Tolonglah, saya diberi penjelasan apa artinya cukup. Karena buat si pemulung makan pagi saja sudah cukup, saya makan tujuh kali sehari (tiga kali yang utama dan empat kali yang camilan) saja, kadang saya masih merasa tak cukup.


By Samuel Mulia Penulis mode dan gaya hidup


kompas cybermedia tgl 8 juli 2007 buat inspiasi ku




test

Mediakomp Infosolution »
SALES SERVICE SPARE PART MAINTENANCE KOMPUTER
IT SOLUTION

Label

Arsip Blog

Mengenai Saya

well i try to be nice guy .......

links



banner angingmammiri




http://ketawa.com/ http://kolom-tutorial.blogspot.com/ http://anangku.blogspot.com/ http://free-7a.blogspot.com/ http://bekastapimulusss.blogspot.com/